Ahok Tokoh Pengubah dan Politisi Penulis

NAMA Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama telah menjadi idola baru warga Jakarta. Pria yang selalu berkacamata itu, bagaikan oase ditengah kelelahan dan kepenatan Jakarta yang merayap setiap saat. Pria kelahiran Belitung Timur 29 Juni 1962 tersebut, telah berhasil menjadi pembeda, bagaimana cara memenangkan ‘pertarungan Pilkdada’ dengan cara patuh dengan nurani dan bertahan dengan idealisme.


Warga Jakarta pun luluh. Prediksi awal banyak kalangan bahwa Fauzi Bowo tidak akan tumbang hanya dengan kesetiaan pada nurani dan idealisme akhirnya roboh juga. Kepemimpinan Fauzi Bowo yang diyakini akan tetap kokoh dan kuat, kendati di lawan dengan berbagai macam alat penebas sekuat apapun, akhirnya tumbang juga. Prediksi itu, aku kira amatlah wajar, karena Fauzi bowo memborong seluruh partai politik pengusung dan pendukung di Jakarta, selain PDI Perjuangan dan Gerindra.

Ahok, sang penakluk Jakarta yang Oktober 2012 nanti akan resmi dilantik menjadi Wakil Gubernur Jakarta periode 2013-2018 ternyata seorang penulis. Atau aku menyebutnya politisi menulis. Dialah tokoh politisi yang oleh Majalah Tempo dianugerahi sebagai Tokoh Pengubah Indonesia. Karena Ahok pula, Jakarta dibawah kepemimpinan Fauzi Bowo bisa terseok-seok dengan kebiasaan dirinya dan soulmatenya, Joko Widodo, menyapa warga jelata.

Kini, apa yang harus dihadapi Jakarta lima tahun kedepan, sebagai Ibu Kota Negara? Ya, harus menerima perubahan dari Wakil Gubernur Jakarta, dari sang penulis buku ‘MengubahIndonesia’, Basuki alias Ahok dan Gubernurnya wong cilik dari Solo, Joko Widodo. 

Idealisme Ahok menurutku sudah teruji dan tidak hanya omong kosong. Dan berbahagialah warga Jakarta memiliki pemimpin seperti dia. Coba simak tulisan mantan Bupati Belitung Timue periode 2005-2006 ini, dalam bukunya bab 13 berjudul “Karir Terbaik Untuk Kaum Idealis”. Dalam salah satu paragrap bab tersebut, sang magister manajemen keuangan dari Prasetiya Mulya Jakarta menuliskan bagaimana cara menjaga idealisme: “Para kaum idealis nasionalis sejati harus ingat, setelah mendapatkan karir yang hebat, jam tangan jangan diganti dengan jam tangan mewah seharga puluhan juta rupiah. Telepon genggam canggih dan mahal tapi tidak bisa dimanfaatkan teknologinya. Apalagi mulai memakai baju, dasi, sepatu harganya puluhan juta rupiah. Intinya haya hidup, jangan merubah jadi orang kaya baru.”

Kehadiran Ahok juga, aku kira, sebagai bentuk pengecualian politikus seperti apa yang digerahkan oleh Pramono Anung pada 13 September 2012 lalu di Jakarta. Politisi dari PDI Perjuangan ini, merasakan gerah karena Indonesia surplus politikus, sehingga Indonesia terancam sebagai Negara gagal. Makanya menurut Pramono, untuk menghadang Negara gagal harus dipimpin oleh negarawan.

"Salah satu cara untuk menghadang agar Indonesia menjadi negara gagal adalah dipimpin oleh negarawan. Tapi sayangnya, saat ini yang terjadi justru surplus politikus," ujar Pramono saat memberi sambutan dalam peluncuran buku Adhyaksa Dault, "Menghadang Negara Gagal, Sebuah Ijtihad Politik".

Apa yang dikatakan oleh Pramono menurutku memang benar. Sebab idealnya, politisi harus menjadi penjaga bukan sekedar penghias etalase Negara dan bisa memberikan ruh positif bagi  kemajuan demokrasi Indonesia. Politisi atau politikus, harus bisa berdaya bukan hanya dari sisi personal saja, tetapi juga memiliki kemampuan mengelola sumber daya yang dimiliki sehingga mampu memberikan konstribusi kepada Negara secara utuh.

Namun, politisi Indonesia justru sebaliknya. Hanya sebagian kecil yang memiliki kemampuan berdiplomasi secara matang. Hanya bisa dihitung dengan jari, politisi yang mampu membangun citra politik Indonesia di mata Internasional dengan karya dan dedikasinya. Sehingga, sangat wajar bila, surplus politikus tak sebanding dengan matangnya demokrasi Indonesia. Bahkan, Indonesia kerap tercoreng dengan budaya korupsi politisi yang kian menjadi-jadi.

Kedepannya aku kira, menambahkan apa yang dikatakan Pramono Anung, untuk menghadang Negara gagal itu, Indonesia bukan hanya harus dipimpin oleh seorang negarawan, melainkan oleh politisi penulis dan negarawan penulis. Mengapa demikian? Penulis akan selalu setia dengan apa yang ditulisnya. Seorang penulis memiliki ketulusan untuk secara bertahap memperbaiki sumber daya pribadinya secara perlahan atas bimbingan hati nuraninya.

Kerinduan negeri ini di pimpin oleh seorang politisi penulis juga, secara tersirat disampaikan oleh Haryanto Tohari, politikus dari Partai Golkar. Ia mengaku menyesal jadi politisi. Hidupnya tidak nyaman, tidak tentram apabila publik sudah menghujat politisi, parpol,DPR, presiden, pejabat negara/pemerintahan karena korupsi. Dia suka lemas dan sedih karena ia juga politisi.

Makanya, sebagai bentuk kerinduan atas tokoh politisi penulis itu, Haryanto sekarang tengah menyelesaikan menulis buku tentang “Bung Hatta dan Islam”. Menurut Haryanto, Hatta adalah orang yang sangat bersih, sederhana, dan demokrat sejati. Dewasa ini negara Indonesia memerlukan figur pemimpin seperti Hatta yang sederhana, asketis, dan bersih. Dia bukan hanya tidak korup,tapi asketis dan berhati-hati serta waspada agar tidak terseret dalam kasus korupsi. 

0 komentar:

 
© Copyright 2035 Terapi Menulis
Theme by Yusuf Fikri