Write Your Words, Put Your Word

“Tulislah kata-katamu, dan wujudkan duniamu”. Itulah spirit sederhana dariku bagi anda yang ingin belajar menulis. Kata-katamu adalah tambang emasmu. Kata-katamu adalah potensi berharga bak nilai kandungan emas dalam bumi yang belum tergali. Kata-katamu adalah duniamu yang sudah kamu impikan sejak kamu dilahirkan. Jangan pernah mengumbar kata yang tidak berguna, tetapi umbarlah kata-katamu dengan menuliskan apa yang kamu mau. Ketika masih dalam tahap belajar, mencaci kata-katamu sendiri melalui tulisan, jauh lebih baik daripada mencaci orang lain.

Sekarang impian duniamu apa? Menjadi penulis, menjadi seorang cerpenis, menjadi seorang konsultan dunia kepenulisan, bercita-cita memiliki sekolah kepenulisan, atau menjadi konsultan perusahaan, sehingga orang lain bisa terhipnotis dengan tulisannmu.

Semuanya terserah anda. Hanya saja, tetap harus dikembalikan dengan aturan baku yang sudah saya singgung dalam tulisan sebelumnya. Ingat menulis itu harus menginspirasi dan memberi sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain. Poin ini jangan pernah anda lupakan bila memang menulis ingin menyulap hidup anda menjadi lebih bergizi.


Pelajar Bisa Jago Cepen dan Novel

Banyak pelajar di negeri ini yang memiliki potensi dan sudah menjadi penulis, meskipun untuk kalangan mereka sendiri. Dan memang, harus saya katakan menulis sejak dini memang sangat ajaib. Tidak akan ada perlawanan dunia manapun, pasti akan pasrah dan menyerah bila menulis sudah diuji sejak berada dibangku pendidikan.

Untuk para pelajar masih banyak memiliki impian. Dan impian itu bisa menjadi tulang punggung kehidupannya kelak. Sayangnya, dewasa ini tidak ada sekolah yang bisa memberikan peluang kepada anak didiknya untuk menjadi seorang penulis, selain siswa itu sendiri yang terpanggil dengan hati nuraninya.

Pemberontakan nilai-nilai kemapanan, curahan hati yang tulus dan murni dari seorang pelajar bisa jadi merubah dunia. Sungguh luar biasa dan berbahagialah para pelajar yang memiliki kemampuan menulis, dan bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain.

Syarat utama bagi pelajar dalam menulis adalah, jangan terpaku dengan aturan-aturan baku kepenulisan. Tulisan yang natural dan apa adanya, saya kira akan menjadi esai yang menggairahkan bagi penulisnya maupun bagi orang yang membacanya.

Misalkan, ketika ada seorang pelajar yang menceritakan bagaimana seorang gurunya yang galak saat mengajar di sekolah, kemudian dituangkan dalam sebuah tulisan, saya yakin seluruh guru yang membaca cerita itu akan ikut merasakan apa yang dialami oleh siswa tersebut.
Atau mungkin, ketika seorang guru pilih kasih dengan anak didiknya, akan menjadikan pelajaran berharga bagi guru yang lain. Atau menceritakan bagaimana kehidupan guru-guru ketika berada dalam lingkungan belajar mengajar, saya kira akan menjadi inspirasi bagi guru-guru yang ada di Indonesia.

Banyak kejadian yang menurut saya sangat unik di sekolah, dan bisa menjadi sumber tulisan. Pergaulan mereka yang sudah sangat matang atau dipaksa matang dengan sendirinya menuju etafe dewasa bisa menjadi bahan tulisan. Karakter pertemanan, percintaan, dan hubungan sosial antarpelajar bisa diceritakan menjadi sebuah etalase kisah menggairahkan. Sangat cocok para pelajar ini menjadi seorang cerpenis atau novelis.

Pers Kampus Bisa Lahirkan Penulis Hebat

Mahasiswa sejauh yang aku tahu, adalah masa perubahan atau masa dimana tengah mengalami siklus yang sangat bagus untuk menjadi seorang penulis. Selama ini, mahasiswa yang terekspos media, hanya mahasiswa yang jago dibidang eksak saja. Misalkan merakit mobil, juara olimpiade atau mahasiswa yang hebat dalam karya ilmiah.

Belum pernah aku baca, sebuah buku karangan mahasiswa. Nah, mengapa ini bisa terjadi? Aku tidak menganalisis mengapa itu bisa terjadi. Namun, menurut pengalaman saya sebagai mahasiswa dulu, setidaknya ada empat faktor mengapa mahasiswa enggan atau tidak terinspirasi ditengah kekayaan intelektual mereka untuk menulis buku. Pertama, pergaulan mahasiwa lebih mengutamakan gengsi bukan karya, sehingga kuliah hanya sebatas mengikuti perkuliahan regular dan tidak memilili aktivitas lain atau organisasi yang bisa memupuk intelektualnya lebih teruji.Kedua, kuliah adalah kegiatan tatap muka dan yang penting nilai, sementara penggalian potensi diri hanyut dalam pergaulan kampus yang terkadang tidak seluruhnya membangkitkan gairah intelektual untuk maju.

Ketiga, mahasiswa kebanyakan tinggal di kos-kosan. Kita tahu sendiri, model kos-kosan lebih banyak hidup dalam pergaulan dirinya sendiri. Jarang mahasiswa yang ngekos terlibat gaul dengan kehidupan sosial masyarakat sekitarnya, sehingga tidak menemukan gejala-gejala sosial yang bisa dianalisis atau menjadi bahan pemikiran yang mengentakan dirinya bangkit dan dituangkan dalam sebuah tulisan. Keempat, hanya mahasiswa yang aktif di organisasi saja, yang biasanya hasrat menulisnya tumbuh, meskipun perkembangan untuk sampai membuat buku jarang terjadi.

Disini juga, peran pers kampus terkadang mati suri. Mahasiswa aktivis pers kampus, lebih banyak mendapatkan job pekerjaan sebagai wartawan, tapi tidak memiliki karya tulisan sebuah buku. Padahal, aktivis pers kampus sudah teruji dalam menganalisis. Pers kampus adalah embrio melahirkan penulis-penulis hebat masa depan. Namun, nyatanya, banyak teman-teman saya pers kampus, karena faktor x lainnya juga, banyak yang menganggur tidak memiliki pekerjaan.

Wartawan Juga Bisa Buat Buku

SAYA sebelumnya berprofesi sebagai wartawan. Namun karena ada benturan keras, saya pun memilih menulis di blog. Wartawan bukan menulis bukan apa yang ia rasakan atau apa yang bisa ia curahkan. Kerja wartawan sudah di atur oleh undang-undang pers. Tidak boleh meraba, tapi sesuai fakta. Tidak boleh berimajinasi tetapi dengan sumber yang pasti.  

Bahkan, saya terkadang tertawa sendiri, ada teman saya, yang kualifikasi keilmuwan sarjana hukum menjadi wartawan olahraga, atau sarjana ekonomi menjadi wartawan kriminal. Pokoknya masih banyak jungkir balik potensi untuk mengeksplorasi tulisan sesuai dengan bidang yang digeluti mereka. Mereka pun tidak bisa menolak, karena terbentur dengan aturan perusahaan yang terkadang memenjara si wartawan itu sendiri. Apalagi wartawan di daerah.  Hanya perusahaan pers besarlah yang sudah menempatkan wartawan sesuai dengan basis keilmuwan.

Ini adalah gejala yang sudah menjadi rahasia umum. Seorang wartawan bukanlah penulis, melainkan mewartakan apa yang ia lihat atau menurut sumber yang bisa dipercaya. Kendati demikian, wartawan pun tetap saja terkadang harus menutupi kebenaran. Misalkan begini, saya memiliki pengalaman, suatu ketika sebuah institusi hukum itu kebobolan karena seorang tahanan melarikan diri. Eh ternyata, sang kasat menyuruhku dan rekan lainnya, untuk tidak memberitakan itu. Padahal itu jelas harus diberitakan. Namun ia tetap memaksa untuk tidak menuliskan itu.

Nah, benturan ini adalah salah satu penjara sebenarnya. Artinya apa, disisi lain wartawan juga tulisannya lagi-lagi harus terpenjara oleh sumbernya sendiri. Sehingga mereka tidak akan pernah merdeka, selain menulis sebagai rutinitas. Tak kurang tak lebih.

Kendati demikian, bukan berarti wartawan tidak bisa menjadi seorang penulis. Misalkan seorang wartawan kriminal bisa menceritakan cerita dibalik sebuah kejadian kemudian seluruh berita itu selama satu tahun misalkan di dokumentasikan dengan sempurna. Dari berbagai kasus itu, bisa diteliti apa latarbelakangnya sehingga si tersangka melakukan itu. Si Wartawan bisa melihat latar belakang keluarganya dan meminta mereka testimon. Kemudian, secara sosial bagaimana pergaulan tersangka. Nah, ini akan menjadi ensiklopedia penegakan hukum, dan gejala-gejala sosial di tempat ia bekerja. 

Kemudian wartawan ekonomi, bisa menyeleksi tulisan menarik soal ekonomi dalam konteks pembangunan. Bagaimana geliat pembangunan ekonomi pemerintah daerah, dan konteks pengangguran masyarakat. Apakah ada hubungan antara pembangunan ekonomi di daerah sejalan dengan berkurangnya pengangguran di daerah tersebut. Buatlah statistik atau analisa, melalui pakar-pakar ekonomi untuk melihat persoalan tersebut. Saya kira, tulisan tersebut akan menarik dan bisa menjadi masukan kepada pemerintah daerah, yang selama ini mengukur kemajuan hanya berdasarkan statistic saja.

Bila tulisan seorang wartawan terdokumentasi dengan baik, kemudian direview kembali dan didaur ulang menjadi cerita yang menggairahkan, menginspirasi dan memberikan manfaat kepada orang lain, saya kira bisa menjadi buku yang luar biasa. Sebab satu hal keunggulan wartawan ketika menulis adalah, temuan wartawan adalah temuan objektif. Beda dengan novelis atau cerpenis yang lebih mengutamakan alam khayali yang dikemas seolah menjadi nyata dan benar wujudnya ada.

Wartawan sekaligus penulis itu langka.Tetapi kalau wartawan itu menulis iya. Sebab memang itulah pekerjaan mereka. Beda sekali defenisi antara seorang penulis dengan hanya menulis saja. Hemat saya seorang penulis adalah daya hentak dan objek tulisannya memberikan gairah baru ditengah kelelahan objek tulisan. Beda dengan wartawan menulis, sudah ada aturannya 5W 1H.

Hal diatas juga maklum saya sadari bahwa, tidak seluruhnya wartawan memiliki mimpi menjadi seorang penulis. Apalagi salary wartawan konon jauh lebih pasti menjanjikan, dan relasi hubungan antarstatus sosial bisa lebih terjaga lebih dinamis untuk membuka peluang yang lebih besar. Wartawan menjadi seorang penulis, itu lebih kepada pilihan hidup dan pilihan hati nuraninya. 
 
© Copyright 2035 Terapi Menulis
Theme by Yusuf Fikri