TERALI besi yang menjadi pengitar hidup para
narapidana, adalah penjara yang hanya memenjara lahirnya saja. Tapi tidak bagi
hati dan jiwanya. Banyak napi yang justru melahirkan karya bukunya di penjara. Itu
menjadi bukti, bahwa penjara hanya membatasi ruang-ruang lahiriah dan tidak
mengungkung lingkup batiniah untuk mengeksplorasi karya.
Lihat saja Prita berniat menulis buku selama di penjara. Nawal El Saadawi, perempuan Mesir penulis Memoar menulis berkarya di
Penjara. Mungkin kamu mengenal, Buku
Live from Death Row dan All things Censored karya Murnia Abu
Jamal lahir di penjara. Tan malaka. Tokoh besar dalam sejarah revolusi
kemerdekaan Indonesia, menulis Madilog
di penjara. Begitu pun, Pramoedya Ananta Toer
melahirkan empat Novel legendaries, Tetralogi
Buru, lahir d penjara.
Jadi, apa penjara sesunguhnya bagi calo penulis dan penulis pemula? Penjara sesungguhnya adalah, ketika tidak memiliki hasrat untuk menulis apa yang ia ingin uraikan.Tidak mau beraksi demi katahati untuk mencoretkan gagasan. Mengapa? Disana ada objektivitas, ada ketulusan, ada ruh dan vitalitas, ada inspirasi, ada manfaat, tapi mengapa harus terpenjara dengan hal-hal yang justru merugikan diri sendiri.
Untuk yang muda, hasrat
menulismu adalah bagian dari talenta yang harus dijaga, agar ia tidak lari atau
melairikan diri dari hidupmu. Biarkanlah hasrat itu berkelana mengitari dunia
sekelilingmu, dan kelak juga akan ditemukan sebuah momentum yang tepat untuk
menghasilkan karya terbaik.
Hasrat
itu keingian yang
kuat. Asal kata hasrat bermula dari bahasa populer untuk penyair di India dan Pakistan, yang berarti "keinginan tidak terpenuhi".
Dalam bahasa arab berasal dari "Hasrah". Salah satu alasan kata ini disukai oleh penyair Urdu, karena
memiliki melankolis nada
Hasrat bagai mutiara
yang masih terpendam di perut bumi. Hasrat identik dengan kilau gagasan yang
brilian yang bias menjadikan tulisan lebih hidup. Ketika tulisan sebuah buku lahir
dari sebuah hasrat, orang lain lain ingin tahu detail apa isi buku itu. Ketika
tuisan artikel lahir dari hasrat penulisnya, ide yang tertuang aka dinamis dan
memuaska hasrat membaca pembacanya.
Bahkan, buku tersebut
mendapat predikat best seller, itu semua lahir dari hasrat yang bebas. Tidak
terpenjara oleh aturan-aturan subjektif diri sendiri misalkan, apa yang akan
aku tulis, nanti tulisannya akan dikemanakan, bisakah aku menerbitkan buku,
bisakah buku aku laris di pasaran, itu semua adalah rangkaian penjara yang
memutus matarantai ketulusan jiwa, lancarnya ide untuk menulis.
Keraguan
menanam dan salah menabur benih,
adalah penjara pertama hasrat menulis terpenjara. Bila potensi itu hanya
ditanam saja, dibiarkan dalam sebuah etalase yang mewah, hanya dilihat, hanya
diakui, hanya dikatakan kepada orang, selamanya tidak akan memberi manfaat
kepada siapapun. Benih-benih potensial dalam menulis, itu selalu diuji coba,
dibiarkan penuh eksperimen, sampai menjadi sempurna, senyawa dengan keseriusan
penabur benih tersebut untuk merawatnya.
Mengapa para penulis
profesional terkadang dan mereka bisa melahirkan buku baru dalam tempo yang
singkat? Menurutku, itu bukan hanya kemampuan dia, melainkan karena benih
menulis yang tumbuh dalam dirinya, dirawat secara baik. Mungkin benih itu,
mulanya dibiarkan tumbuh menjadi serabut. Namun, ketika dengan serius di rawat
kembali, karya-karya yang dihasilkan terbit dengan monumental.
Saya contohkan, Dewi Lestari.
Dari kecil sejak bangku SMA ia sudah menulis, bahkan melahirkan 15 karya untuk
sekolahnya. Namun, beranjak dewasa dan belia, ia justru aktif sebagai penyanyi.
Apakah selama menyanyi, ia menghasilkan Supernova dan Perahu Kertas? Ternyata
tidak. Justru, ketika ia memutuskan untuk keluar dari BSD tahun 2003, ia mampu
melahirkan karya terbaiknya dan sudah termasuk jajaran penulis Indonesia yang
kaya raya dari menulis.
Ada
keyakinan yang tidak utuh ketika mengeksplorasi sebuah gagasan, itu adalah penjara hasrat menulis
yang kedua. Aku tidak menemukan sebuah fakta, bahwa karya buku lahir dari rahim
ide yang beku. Tapi aku banyak menemukan, sebuah karya itu justru enak dibaca
karena isinya dinamis, ruh karakter tokohnya memiliki kekuatan, dan tulisan
yang disampaikan memantulkan energy bagi pembacanya.
Karakter karya buku yang
seperti itu, lahir dari gagasan yang eksploratif dan objektif. Banyak buku
dewasa ini, yang sama sekali tidak menawan untuk dibaca. Bukan main covernya
sangat lux bahkan dibuat ekslusif, tetapi mengapa isinya tidak mengikat batin
pembacanya? Itu menurut hematku, karena tulisan lahir dari rutinitas yang biasa
dan dipublikasikan hanya sekedar orang tahu ketokohan sipenulisnya, atau aktor
yang dibicarakan dalam buku tersebut.
Malas
memulai, galau mengakhiri, itu
adalah penjara hasrat yang ketiga dan menurutku ini adalah sudah menjadi
penyakit masal seorang penulis pemula. Keraguan memulai menulis adalah start
yang buruk dan hanya mimpi tak akan berbuah. Begitupun, ketika mengakhiri
sebuah tulisan, bukan main merasakan galau luar biasa.
Akibat sudah terpenjara
dengan kemalasan, sama sekali tidak akan pernah melahirkan karya kendati itu
adalah permulaan. Semakin terpenjara dengan kemalasan, semakin dihantui dengan
kegalauan, menulis hanya mimpi-mimpi belaka.
Sekarang, coba lihat para penulis dunia dan penulis Indonesia, dan tanyakan kepada mereka, aku kira mereka pun mengalami kemalasan dan kegalauan, tapi itu tidak dinikmati, namun segera diakhiri dengan tindakan nyata yang nyata. Write your word, put your word. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Sekarang, coba lihat para penulis dunia dan penulis Indonesia, dan tanyakan kepada mereka, aku kira mereka pun mengalami kemalasan dan kegalauan, tapi itu tidak dinikmati, namun segera diakhiri dengan tindakan nyata yang nyata. Write your word, put your word. Semoga tulisan ini bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar