SUDAH berapa banyak kamu
‘menelan’ buku? Tapi perutmu tak kenyang juga bukan? Metoda penyadaran melalui
buku, memang hanya bisa terjamah oleh orang yang memiliki kesadaran sempurna.
Makhluk halus yang kerap menggoda dengan bisikan ‘jadilah seperti mereka’, sudah membukukan kemenangan. Sehingga para
belia pun terus memaksa berjalan menjemput ide, padahal sudah lunglai dengan
impian sampai ke tempat tujuan.
Sejenak ada keriangan.
Tapi, pencarian itu justru semakin memuncahkan kekesalan. Karena ternyata,
impian yang dijemput itu, bukan tulisan nurani yang jujur bagi dirinya.
Perseteruan ide dan cara pun telah
membuatnya gusar. Kemana harus menawar tempat yang bisa lebih indah menulis?
Menawar ‘lovespiritual’ agar menjadi tulisan
sakti seperti Kang Abik? Mencoba mendesain impian, atau semacam journeyscrip seperti Andrea Hirata? Atau menghadirkan virtualscrip dan fisika seperti Dewi
Lestari? Haruskah para belia bersekolah asa kepada mereka.
Pencarian yang bisa mendatangkan
nikmat menulis, memang tak semudah membeli roti bakar. Harga sebuah perjalanan
menjadi sebuah tulisan memang berharga mahal. Tapi yang muda, selalu ingin yang
mudah. Gampang dan tak mau beresiko dengan pertengkaran ide dan asa sehingga mantra
nyata hanya dianggap sebagai tulisan magis.
Selama terus mencari,
itulah kefitrian dari seorang yang muda untuk menulis. Khittah sesungguhnya
menulis, adalah memiliki nilai yang pasrah untuk mengatakan, aku adalah diri
yang tak pernah mau seperti apa yang mereka capai. Duniaku adalah yang bisa
lebih bebas memiliki asa melampaui apa
yang sudah mereka raih. Dan aku tak mau dibakukan dengan ejaan yang hanya
membuat bahasa kaku.
Pertemuan antara ide dan
kefitrian sejatinya diperoleh lebih cepat oleh para belia, bila bumbu menulis
bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri. Diri yang fitri bisa memiliki
kemampuan membaca, dan seolah merasakan orang lain ikut membaca. Egois sekali,
menawar kebaikan sebuah tulisan, hanya berdasar asumsi tak utuh, sementara
hatinya tak merasa itu sebuah kebaikan yang bisa memberikan manfaat bagi
khalayak.
Begini. Ketika Muhammad
menerima wahyu untuk membaca atas nama TuhanMu, itu adalah sebuah puncak
kesadaran bahwa manusia harus memiliki keingintahuan yang utuh. Mozaik
peradaban membaca dan menulis, harusnya turun menurun dimiliki oleh umat
Muhammad, tanpa membedakan status apapun. Nah,
yang muda hanya terintegrasi dengan impian, dan tidak memahami akar
kediriannya. Padahal turun temurun titah yang universal itu, ditaqdirkan untuk
membaca dan menulis.
Bila menulis novel,
cerpen, fiksi imliah, dan yang lainnya sebuah pencapaian tertinggi dari
pencarian seorang penulis, maka itu adalah kefitrian yang hanya sedikit
diperoleh. Selebihnya adalah, kesetiaan terhadap apa yang seharusnya ia tulis.
Paham apa dengan keinginantahuan ide dan meminta kesetiaan pikiran untuk
menuliskannya. Jika yang muda, terobsesi dengan karya apa yang harus dibuat,
maka semakin memikirkan itu, semakin tidak akan pernah pula mendapatkan
predikat sebagai penulis.
Pencarian yang sempurna
dari para belia mencapai asa menulis adalah, memahami berdiri dimanakah
sekarang? Ruang-ruang kesadaran untuk mengatakan, aku adalah seorang diri yang
berada dalam lingkunganku, maka itu adalah kesadaran paling mahal untuk memulai
menulis. Carilah sumber dan ide yang lebih dekat, daripada mencari sumber yang
teramat jauh untuk dijangkau. Carilah sumber dan ide yang dekat, tapi energinya
bisa meledak lebih jauh.
Seorang penulis yang
dilahirkan di kampung, ketika tulisannya sudah dibaca banyak khalayak, orang
tidak akan melihat lagi tak peduli penulisnya orang kampung atau bukan,
melainkan tulisannya sudah sangat ‘kota’ sekali. Ya…predikat keberhasilan
mempertemukan ide itulah yang harus terus dipatri sampai matang dan masak,
daripada mengolah masakan yang sudah terbiasa digunakan orang lain, yang
dipastikan hasilnya juga tidak akan sempurna seperti masakan sendiri.
Aku memang bukan penulis
profesional. Aku hanya mantan wartawan harian di daerah. Apa yang aku tulis
adalah nuraniku. Ku tuangkan tulisan ini
sesuai dengan seleraku. Tulisan in terinspirasi, setelah aku banyak
mempostingkan beberapa penulis dalam dan luar negeri. Ada hasrat untuk
mengatakan, mereka hebat. Tapi aku tidak ingin menggiring pembaca, harus
seperti mereka. Mereka hanya sebuah inspirasi awal, untuk para belia menjangkau
dan menapakan kaki lebih lebar.
Makanya, tidak ada tips
yang mujarab dan ampuh bagi para belia, selain, mencari inspirasi untuk tetap
betah dengan apa yang ada sekarang. Menulis tidak terbatas ruang dan waktu.
Hanya mungkin objek yang diceritakan yang membedakan, si penulis tinggal
dimana. Teruskanlah pencarian ide dan gagasanmu, tapi bukan menjemput gagasan
mereka.
0 komentar:
Posting Komentar