Yang Muda Yang Mencari Cari-Cari (2)


SUDAH berapa banyak kamu ‘menelan’ buku? Tapi perutmu tak kenyang juga bukan? Metoda penyadaran melalui buku, memang hanya bisa terjamah oleh orang yang memiliki kesadaran sempurna. Makhluk halus yang kerap menggoda dengan bisikan ‘jadilah seperti mereka’, sudah membukukan kemenangan. Sehingga para belia pun terus memaksa berjalan menjemput ide, padahal sudah lunglai dengan impian sampai ke tempat tujuan.


Sejenak ada keriangan. Tapi, pencarian itu justru semakin memuncahkan kekesalan. Karena ternyata, impian yang dijemput itu, bukan tulisan nurani yang jujur bagi dirinya. Perseteruan ide dan cara  pun telah membuatnya gusar. Kemana harus menawar tempat yang bisa lebih indah menulis?

Menawar ‘lovespiritual’ agar menjadi tulisan sakti seperti Kang Abik? Mencoba mendesain impian, atau semacam journeyscrip  seperti Andrea Hirata? Atau menghadirkan virtualscrip dan fisika seperti Dewi Lestari? Haruskah para belia bersekolah asa kepada mereka.

Pencarian yang bisa mendatangkan nikmat menulis, memang tak semudah membeli roti bakar. Harga sebuah perjalanan menjadi sebuah tulisan memang berharga mahal. Tapi yang muda, selalu ingin yang mudah. Gampang dan tak mau beresiko dengan pertengkaran ide dan asa sehingga mantra nyata hanya dianggap sebagai tulisan magis.

Selama terus mencari, itulah kefitrian dari seorang yang muda untuk menulis. Khittah sesungguhnya menulis, adalah memiliki nilai yang pasrah untuk mengatakan, aku adalah diri yang tak pernah mau seperti apa yang mereka capai. Duniaku adalah yang bisa lebih bebas memiliki  asa melampaui apa yang sudah mereka raih. Dan aku tak mau dibakukan dengan ejaan yang hanya membuat bahasa kaku.

Pertemuan antara ide dan kefitrian sejatinya diperoleh lebih cepat oleh para belia, bila bumbu menulis bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri. Diri yang fitri bisa memiliki kemampuan membaca, dan seolah merasakan orang lain ikut membaca. Egois sekali, menawar kebaikan sebuah tulisan, hanya berdasar asumsi tak utuh, sementara hatinya tak merasa itu sebuah kebaikan yang bisa memberikan manfaat bagi khalayak.

Begini. Ketika Muhammad menerima wahyu untuk membaca atas nama TuhanMu, itu adalah sebuah puncak kesadaran bahwa manusia harus memiliki keingintahuan yang utuh. Mozaik peradaban membaca dan menulis, harusnya turun menurun dimiliki oleh umat Muhammad, tanpa membedakan status apapun. Nah, yang muda hanya terintegrasi dengan impian, dan tidak memahami akar kediriannya. Padahal turun temurun titah yang universal itu, ditaqdirkan untuk membaca dan menulis.

Bila menulis novel, cerpen, fiksi imliah, dan yang lainnya sebuah pencapaian tertinggi dari pencarian seorang penulis,  maka  itu adalah kefitrian yang hanya sedikit diperoleh. Selebihnya adalah, kesetiaan terhadap apa yang seharusnya ia tulis. Paham apa dengan keinginantahuan ide dan meminta kesetiaan pikiran untuk menuliskannya. Jika yang muda, terobsesi dengan karya apa yang harus dibuat, maka semakin memikirkan itu, semakin tidak akan pernah pula mendapatkan predikat sebagai penulis.

Pencarian yang sempurna dari para belia mencapai asa menulis adalah, memahami berdiri dimanakah sekarang? Ruang-ruang kesadaran untuk mengatakan, aku adalah seorang diri yang berada dalam lingkunganku, maka itu adalah kesadaran paling mahal untuk memulai menulis. Carilah sumber dan ide yang lebih dekat, daripada mencari sumber yang teramat jauh untuk dijangkau. Carilah sumber dan ide yang dekat, tapi energinya bisa meledak lebih jauh.

Seorang penulis yang dilahirkan di kampung, ketika tulisannya sudah dibaca banyak khalayak, orang tidak akan melihat lagi tak peduli penulisnya orang kampung atau bukan, melainkan tulisannya sudah sangat ‘kota’ sekali. Ya…predikat keberhasilan mempertemukan ide itulah yang harus terus dipatri sampai matang dan masak, daripada mengolah masakan yang sudah terbiasa digunakan orang lain, yang dipastikan hasilnya juga tidak akan sempurna seperti masakan sendiri.

Aku memang bukan penulis profesional. Aku hanya mantan wartawan harian di daerah. Apa yang aku tulis adalah nuraniku. Ku tuangkan tulisan ini  sesuai dengan seleraku. Tulisan in terinspirasi, setelah aku banyak mempostingkan beberapa penulis dalam dan luar negeri. Ada hasrat untuk mengatakan, mereka hebat. Tapi aku tidak ingin menggiring pembaca, harus seperti mereka. Mereka hanya sebuah inspirasi awal, untuk para belia menjangkau dan menapakan kaki lebih lebar.

Makanya, tidak ada tips yang mujarab dan ampuh bagi para belia, selain, mencari inspirasi untuk tetap betah dengan apa yang ada sekarang. Menulis tidak terbatas ruang dan waktu. Hanya mungkin objek yang diceritakan yang membedakan, si penulis tinggal dimana. Teruskanlah pencarian ide dan gagasanmu, tapi bukan menjemput gagasan mereka.  

0 komentar:

 
© Copyright 2035 Terapi Menulis
Theme by Yusuf Fikri