MENULIS itu titah hati yang tak terbantah.
Kata hati yang jujur menelisik jiwa untuk segera mencoretkan pena. Sesungguhnya
kemuliaan seorang penulis, tatkala ia memiliki kejujuran apa yang ia tulis.
Menulis itu seni dan performance hakiki
untuk mengatakan apa yang ia lihat, apa yang ia katakan (itu) adalah etalase kehidupan kini dan akan datang.
Tatkala aku menemukan
apa yang aku tidak tahu, menulis adalah penghibur bathin yang memesona. Hebat
bukan? Menulis adalah asa yang bisa terbang membelah langit ketujuh. Bumi
segera menggoncang alam luar yang tak biasa terjamah oleh orang lepas. Ada rasa
aneh, apa sesungguhnya yang terjadi dibumi, atas kehadiran Tuhan, yang
memberkatiku untuk segera tahu apa itu menulis.
Hidup tak sekedar apa
yang engkau mau katakan. Balas Tuhan adalah baik. Dan hanya untuk orang-orang yang
melakukan kebaikan. Dan tulisan adalah kebaikan agung yang tak sekedar penuh
sanjung. Raih puja-puji kanan kiri. Janganlah engkau membantah batinmu dan
tersiksa hanya karena memaksa alam dunia yang segera tak tersisa. Abadikanlah
duniamu! Goreskan pena emasmu untuk peradaban abadi yang nyata dengan menulis.
Aku banyak membaca dan
menuliskan di blog ini, mereka yang sukses menulis. Ada keinginan disana. Ada
rasa aku ingin segera tiba dengan kemuliaan yang sudah dikunjungi banyak orang,
dan memberikan kabar kepada mereka, bahwa menulis itu indah di buku, dan
memberikan keindahan bathin bagi penulisnya.
Senyawa dengan pergaulan
tekno. Huh, gerangan apalagi dengan kabar, seorang penulis tak bisa
menentramkan jiwanya sendiri. Ia berontak menahan kepahitan lebih dari apa yang
dirasakan pahit saat mengonsumsi obat.
Ia tak bisa mencari, kemana harus menyembuhkan luka itu? Selain menulis apa
yang bisa ia sembuhkan dengan tulisannya.
Enzim apapun tak mampu
memberikan penenang. Ketenangan bisa diperoleh ketika ia menundukan kepala dan
berada dalam layar virtual untuk memberikan kabar bathin yang tengah beradu
gagasan untuk segera dituangkan. Secangkir kopi seolah tak ada guna, ketika ide
itu memecahkan luang-luang baru yang tak pernah ada dalam pikiran seorang
penulis.
Syukurlah negeri ini
sudah sesak dengan penulis. Selama ia sudah melahirkan karya, aku tak berani mengatakan
karbitan atau bukan. Dengan menerbitkan buku, ada peradaban disana. Mungkin
bagi orang lain tak berguna. tapi bagi diri sang penulis, itu adalah sejarah
yang segera akan orang lain kenang.
Kurang apa lagi dengan
penulis kita. Selain tahu dan sadar bahwa apa yang ia tulis adalah kepatuhan
sebuah gambar futuristik yang
sebetulnya khayali untuk dijumpai. Mampukah mereka, mengabadikan sebuah momen
dalam kisah nyata yang haru biru dengan bahan ajar yang rill dan nyata
dirasakan oleh khalayak.
Muskil memang,
jebakan-jebakan itu justru tak tergali oleh orang yang melawati, tapi justru
oleh orang itu sendiri yang membuatnya. Aku pun merasakan aneh, ada kejanggalan
kepribadian terhadap para penulis yang telah menemukan ruang lebih nyaman, dan
merasakan sebuah obat penenang sehingga mereka pun diam seribu bahasa.
Lihatlah mereka yang
berjejal di tempat kursus, ingin menemui jejakmu. Ratusan para belia siang
malam menelisik kata, agar ia kelak menjadi seorang penulis juga. Namun, impian
bagi mereka adalah magma dan letupan-letupan yang malu untuk meledak. Siapa
yang tak dekat dengan apa yang sudah mereka temui, mereka hanya mendekat bilik
dan menggigit sepotong kertas hanya untuk menyemaikan sebuah gagasan dalam
ruang yang lebih layak.
Mereka belum menjadikan
guru bagi dirinya sendiri. Enggan untuk dijumpai dan bermurah ilmu untuk
berbagi. Atau inikah sebagai pertanda, semakin dekatnya dunia dengan sebuah
pembalasan tak tertanding. Para belia bukan fun atau group yang memberikan poster atau berteriak sorai menunggu
kedatangan di Bandara.
Penulis adalah ‘ulama’
bagi pembacanya. Negara yang tak bersisa tidak akan menyisakan peradaban
apapun, tanpa sumbangsih dari para penulis yang sudah multikolega. Tengoklah
berapa banyak pendidikan menulis, tapi mereka hanya mendidik luar dan logika. Bukan
melatih nurani agar setia dengan apa yang memang kelak akan menjadi potensi
dirinya.
Aku bukan penulis yang
ingin mendongkel kunci yang sudah kuat menggembok tembok alam nyata yang
semakin dewasa untuk bertindak. Aku tidak ingin menyemai kegaduhan yang sontak
menelan ludah untuk sekedar berkata; ada apa? Aku ingin memberi sebuah
penegasan bahwa apa yang sesungguhnya panggilan jiwa harus dijemput dengan jiwa
yang tulus pula.
Sebuah timbal balik alam
yang universal telah menunjukan, bahwa keburukan akan dibalas dengan jelek
juga. Kebaikan akan bertabur keagungan pula. Sama halnya dengan jiwa yang
datang harus dijemput dengan jiwa dan kepasrahan raga. Bukan….bukan….bukan
hanya dengan sekedar karya yang semakin membuat para belia merana dan merasa
nista dengan dunianya sendiri.
Luhur agung berbudi,
adalah ajaran para Nabi. Tak ada sedikit cela untuk berkata masa lalu mereka,
adalah keburukan dan kepalsuan yang mengajak ke alam sadar yang kelak akan
membawa jalan pantas, lurus dan agung. Aku ingin menegaskan, menulislah selagi
engkau mampu menerobos jalan itu. Ilalang yang bertebaran buanglah dengan
kesaktian dan kesucian jiwa agar ide berjalan dengan tulus menelisik
tulang-tulang kuat dan muda.
Jiwa-jiwa yang pasrah tak
menggadaikan karyanya untuk dibeli atau ditukar dengan nilai komersil yang
gaduhnya hanya sejenak. Ketika karya baru datang menyusul, yang lama akan
segera terlupakan. Jiwa-jiwa yang tulus membangun fondasi dari akar yang kuat
dan kokoh, bukan dengan beton yang dibeli dari toko dan itupun dibeli dengan
tawar menawar.
Sukma para belia, adalah
daun muda yang akan terus datang memanggil. Mereka adalah zaman-zaman emas yang
harganya akan mahal, kendatipun kelak banyak awan dan abu menyentuhnya. Tapi
keemasan mereka akan tetap mengilau, karena sudah terasah jiwanya dengan
kedap-kedip kata, dan sudah biasa memecahkan rumus kata para penulis yang
kadang hanya memintarkan komunitas bukan keumatan yang lebih luas.
Kemana sekarang mereka?
Siapa yang akan terlebih dahulu menyapa para belia itu? Semoga para penulis
yang memiliki jiwa terpanggil sejenak untuk bertandang hanya sekitar dalam
hitungan detik, memanggil mereka untuk diajak berbagi dan mengatakan; “engkau
akan ku wariskan peradaban menulis sekarang juga.”
0 komentar:
Posting Komentar