Yang Muda Yang Mencari Cara (1)


MENULIS itu titah hati yang tak terbantah. Kata hati yang jujur menelisik jiwa untuk segera mencoretkan pena. Sesungguhnya kemuliaan seorang penulis, tatkala ia memiliki kejujuran apa yang ia tulis. Menulis itu seni dan performance hakiki untuk mengatakan apa yang ia lihat, apa yang ia katakan (itu) adalah etalase kehidupan kini dan akan datang.



Tatkala aku menemukan apa yang aku tidak tahu, menulis adalah penghibur bathin yang memesona. Hebat bukan? Menulis adalah asa yang bisa terbang membelah langit ketujuh. Bumi segera menggoncang alam luar yang tak biasa terjamah oleh orang lepas. Ada rasa aneh, apa sesungguhnya yang terjadi dibumi, atas kehadiran Tuhan, yang memberkatiku untuk segera tahu apa itu menulis.


Hidup tak sekedar apa yang engkau mau katakan. Balas Tuhan adalah baik. Dan hanya untuk orang-orang yang melakukan kebaikan. Dan tulisan adalah kebaikan agung yang tak sekedar penuh sanjung. Raih puja-puji kanan kiri. Janganlah engkau membantah batinmu dan tersiksa hanya karena memaksa alam dunia yang segera tak tersisa. Abadikanlah duniamu! Goreskan pena emasmu untuk peradaban abadi yang nyata dengan menulis.

Aku banyak membaca dan menuliskan di blog ini, mereka yang sukses menulis. Ada keinginan disana. Ada rasa aku ingin segera tiba dengan kemuliaan yang sudah dikunjungi banyak orang, dan memberikan kabar kepada mereka, bahwa menulis itu indah di buku, dan memberikan keindahan bathin bagi penulisnya.

Senyawa dengan pergaulan tekno. Huh, gerangan apalagi dengan kabar, seorang penulis tak bisa menentramkan jiwanya sendiri. Ia berontak menahan kepahitan lebih dari apa yang dirasakan pahit saat mengonsumsi  obat. Ia tak bisa mencari, kemana harus menyembuhkan luka itu? Selain menulis apa yang bisa ia sembuhkan dengan tulisannya.

Enzim apapun tak mampu memberikan penenang. Ketenangan bisa diperoleh ketika ia menundukan kepala dan berada dalam layar virtual untuk memberikan kabar bathin yang tengah beradu gagasan untuk segera dituangkan. Secangkir kopi seolah tak ada guna, ketika ide itu memecahkan luang-luang baru yang tak pernah ada dalam pikiran seorang penulis.

Syukurlah negeri ini sudah sesak dengan penulis. Selama ia sudah melahirkan karya, aku tak berani mengatakan karbitan atau bukan. Dengan menerbitkan buku, ada peradaban disana. Mungkin bagi orang lain tak berguna. tapi bagi diri sang penulis, itu adalah sejarah yang segera akan orang lain kenang.

Kurang apa lagi dengan penulis kita. Selain tahu dan sadar bahwa apa yang ia tulis adalah kepatuhan sebuah gambar futuristik yang sebetulnya khayali untuk dijumpai. Mampukah mereka, mengabadikan sebuah momen dalam kisah nyata yang haru biru dengan bahan ajar yang rill dan nyata dirasakan oleh khalayak.

Muskil memang, jebakan-jebakan itu justru tak tergali oleh orang yang melawati, tapi justru oleh orang itu sendiri yang membuatnya. Aku pun merasakan aneh, ada kejanggalan kepribadian terhadap para penulis yang telah menemukan ruang lebih nyaman, dan merasakan sebuah obat penenang sehingga mereka pun diam seribu bahasa.

Lihatlah mereka yang berjejal di tempat kursus, ingin menemui jejakmu. Ratusan para belia siang malam menelisik kata, agar ia kelak menjadi seorang penulis juga. Namun, impian bagi mereka adalah magma dan letupan-letupan yang malu untuk meledak. Siapa yang tak dekat dengan apa yang sudah mereka temui, mereka hanya mendekat bilik dan menggigit sepotong kertas hanya untuk menyemaikan sebuah gagasan dalam ruang yang lebih layak.

Mereka belum menjadikan guru bagi dirinya sendiri. Enggan untuk dijumpai dan bermurah ilmu untuk berbagi. Atau inikah sebagai pertanda, semakin dekatnya dunia dengan sebuah pembalasan tak tertanding. Para belia bukan fun atau group yang memberikan poster atau berteriak sorai menunggu kedatangan di Bandara.

Penulis adalah ‘ulama’ bagi pembacanya. Negara yang tak bersisa tidak akan menyisakan peradaban apapun, tanpa sumbangsih dari para penulis yang sudah multikolega. Tengoklah berapa banyak pendidikan menulis, tapi mereka hanya mendidik luar dan logika. Bukan melatih nurani agar setia dengan apa yang memang kelak akan menjadi potensi dirinya.

Aku bukan penulis yang ingin mendongkel kunci yang sudah kuat menggembok tembok alam nyata yang semakin dewasa untuk bertindak. Aku tidak ingin menyemai kegaduhan yang sontak menelan ludah untuk sekedar berkata; ada apa? Aku ingin memberi sebuah penegasan bahwa apa yang sesungguhnya panggilan jiwa harus dijemput dengan jiwa yang tulus pula.

Sebuah timbal balik alam yang universal telah menunjukan, bahwa keburukan akan dibalas dengan jelek juga. Kebaikan akan bertabur keagungan pula. Sama halnya dengan jiwa yang datang harus dijemput dengan jiwa dan kepasrahan raga. Bukan….bukan….bukan hanya dengan sekedar karya yang semakin membuat para belia merana dan merasa nista dengan dunianya sendiri.

Luhur agung berbudi, adalah ajaran para Nabi. Tak ada sedikit cela untuk berkata masa lalu mereka, adalah keburukan dan kepalsuan yang mengajak ke alam sadar yang kelak akan membawa jalan pantas, lurus dan agung. Aku ingin menegaskan, menulislah selagi engkau mampu menerobos jalan itu. Ilalang yang bertebaran buanglah dengan kesaktian dan kesucian jiwa agar ide berjalan dengan tulus menelisik tulang-tulang kuat dan muda.

Jiwa-jiwa yang pasrah tak menggadaikan karyanya untuk dibeli atau ditukar dengan nilai komersil yang gaduhnya hanya sejenak. Ketika karya baru datang menyusul, yang lama akan segera terlupakan. Jiwa-jiwa yang tulus membangun fondasi dari akar yang kuat dan kokoh, bukan dengan beton yang dibeli dari toko dan itupun dibeli dengan tawar menawar.

Sukma para belia, adalah daun muda yang akan terus datang memanggil. Mereka adalah zaman-zaman emas yang harganya akan mahal, kendatipun kelak banyak awan dan abu menyentuhnya. Tapi keemasan mereka akan tetap mengilau, karena sudah terasah jiwanya dengan kedap-kedip kata, dan sudah biasa memecahkan rumus kata para penulis yang kadang hanya memintarkan komunitas bukan keumatan yang lebih luas.

Kemana sekarang mereka? Siapa yang akan terlebih dahulu menyapa para belia itu? Semoga para penulis yang memiliki jiwa terpanggil sejenak untuk bertandang hanya sekitar dalam hitungan detik, memanggil mereka untuk diajak berbagi dan mengatakan; “engkau akan ku wariskan peradaban menulis sekarang juga.”

0 komentar:

 
© Copyright 2035 Terapi Menulis
Theme by Yusuf Fikri