Supernova Series; Cara Sang Dewi Menulis


DEWI Lestari. Namanya popular saat ia masih menjadi vocal Rita Sida Dewi (RSD). Setelah keluar  tahun 2003, nama Sang Dewi tetap lestari dengan membukukan peradaban menulis. Dari sebuah novel Supernova Series, nama Sang Dewi terus membumbung tinggi. Bahkan, karya novelnya sudah bisa bersaing dengan penulis-penulis besar Indonesia seperti Goenawan Muhammad, Danarto lewat karya ‘Setangkai Melati di Sayap Jibril’, Dorothea Rosa Herliany karya "Kill The Radio", Sutardji Calzoum Bachri karya ‘Hujan Menulis Ayam’ dan Hamsad Rangkuti karya "Sampah Bulan Desember", dalam ajang Katulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books.


Tidak ada yang menyangka, mojang Bandung ini menyimpan potensi dan jiwa sebagai seorang penulis. Potensi sebagai penulis sudah terasah tajam ketika masih duduk di bangku SMA. Di sekolahnya, SMA 2 Bandung, Dee pernah menulis 15 karangan untuk buletin sekolah. Kemahiran Dee menulis terus mengalami metamorposis. “Sikat Gigi”, itulah nama cerpen yang melebarnya karyanya dimuat Jendela Newsletter, sebuah media independen berbasis budaya dan hanya untuk kalangan sendiri.

Tahun 1993, ia pernah menjadi juara pertama lomba menulis yang diadakan oleh Majalah Gadis berjudul "Ekspresi". Tak puas dengan apa yang diraihnya, tiga tahun kemudian Dee menulis cerita bersambung (cerbung) berjudul "Rico the Coro" dimuat di Majalah Mode.

Tepat pada 16 Februari 2001, novel pertamanya diterbitkan. Sambutan masyarakat luar biasa. Bahkan, Novel bertajuk Supernova Satu : Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, laku keras terjual sampai 75.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dari 12.000 yang dicetak. Novel ini banyak menggunakan istilah sains dan cerita cinta.  

Tak ingin novelnya hanya sebagai bacaan warga Indonesia, tiga belas bulan kemudian, tepatnya Maret 2002, Supernova Satu dirilis dalam bahasa Inggris. Untuk karya yang diharapkan bisa menembus pasar internasional ini, Dee menggaet Harry Aveling (60), seorang ahli dalam menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Inggris.

Tujuh bulan kemudian, 16 Oktober 2002, Sang Dewi meluncurkan novel Supernova kedua bertajuk "Akar". Jeda waktu untuk bisa menerbitkan Supernova ketiga, Sang Dewi membutuhkan waktu sangat lama, hampir tiga tahun. Pada Januari 2005, akhirnya novel Supernova terbit bertajuk “Petir”. Dalam novel ini, ia menambahkan empat tokoh baru, salah satunya Elektra.

Pada Agustus 2008, Dee merilis novel yang bukan serial dari Supernova yaitu, “Rectoverso”; sebuah novel yang ‘mengawinkan’ paduan fiksi dan musik. Rectoverso, pengistilahan dua citra yang seolah terpisah tapi sesungguhnya satu kesatuan dan saling melengkapi. Buku ini terdiri dari 11 fiksi dan 11 lagu. Pada Agustus 2009, Dee menerbitkan novel “PerahuKertas” dan sudah dicetak ulang sebanyak 12 kali sampai tahun ini.

Ada Apa Dibalik Film Perahu Kertas?

Dalam wawancara dengan Rollingstone Indonesia, 4 September 2012, Dee menceritakan bagaimana proses Novel “Perahu Kertas” bisa menjadi sebuah film. Sang Dewi membutuhkan waktu sekitar 60 hari untuk membuat novel tersebut menjadi sebuah film dengan sutradara Hanung Bramantyo.

Ketika membuat skenario, Sang Dewi tidak menargetkan waktu seperti halnya ketika menulis novel. Ia bahkan sampai butuh waktu sekitar dua belas bulan untuk mengerjakan skenario film tersebut. Lamanya membuat skenario film, karena tantangan skenario Perahu Kertas harus memuat cerita yang begitu besar dalam skenario 100 halaman tanpa merusak grafiknya. Belum lagi, penulisan skenario harus mengakomodasi keinginan tiga produser.

Tidaklah mudah baginya, untuk mengubah karakter sebuah novel menjadi sebuah film. Sebab, jika karakter-karakter di novel sudah kuat, maka untuk di film cerita dan karakternya harus lebih dipertegas lagi. Untuk itu, demi mendapatkan hasil yang baik, ia pun memunculkan tokoh “baru” yang sudah ada di novel tapi dikembangkan. Seperti tokoh Siska (partner kerja Remigius) dan Banyu (pemahat di Ubud).

Dee pun menyadari, membuat film tidak bisa leluasa seperti menulis novel. Makanya, ia dari awal kerjasama membuat film, sudah mengajukan diri sebagai penulis skenario. Sebab, ia lebih paham dengan ceritanya. Kalaupun terpaksa harus ‘memutilasi’ cerita tidak akan sampai membunuh spirit ceritanya.

Pada saat akan membuat film, ia, Chand Parwez dan Pak Putut sempat mencalonkan empat sutradara. Akhirnya, pilihan jatuh kepada Hanung Bramantyo. Meskipun harus mengalami reschedule karena jadwal yang padat, akhirnya Hanung bersedia menyutradarai film tersebut. Sang Dewi mengaku, awalnya ragu dengan Hanung. Namun, setelah mengenal lebih dekat, akhirnya ia merasa yakin kalau Hanung adalah orang yang tepat menyutradari film Perahu Kertas. Apalagi, Hanung bukan hanya sebagai sutradara, melainkan ikut terlibat sebagai produser dengan perusahaannya, Dapur Film.

Film tersebut juga menuai berkah karena mempertemukan Dee dengan dua teman lamanya, Rida dan Sita; dua personil RSD. Ide melibatkan RSD sebenarnya sudah cukup lama. Namun, Dee baru mengontak Rida dan Sita menjelang rekaman. Begitu rekaman ternyata tidak ada yang berubah, termasuk kelakuan dua temannya itu. 

Selain sebagai penulis skenario, Dee juga dari awal sudah tahu akan melibatkan diri dalam soundtrack. Makanya, ketika skenario selesai, ia langsung membuat lagu “Perahu Kertas”. Saat itu, ia menciptakan lima lagu,  empat lagu baru yang dua diantaranya ditulis hanya dalam tempo satu minggu, karena slot film baru diketahui ketika pertama kali menonton preview. Kelima lagu tersebut adalah, satu lagu yang sudah pernah ditulis lama tapi belum pernah dirilis yaitu “Langit Amat Indah” (RSD). Sisanya adalah “Tahu Diri” oleh Maudy Ayunda, “Dua Manusia” oleh Dendy Mikes, “A New World” oleh Nadya Fathira. Diluar lagu itu, ada Triangle Band (“How Could You”) dan Adrian Martadinata (“Behind The Star”).

Sumber foto Dewi Lestari Indonesian Film

0 komentar:

 
© Copyright 2035 Terapi Menulis
Theme by Yusuf Fikri